Apa salahnya jika saya tidak ingin tahu lagi tentangnya..

Adalah wajar jika manusia menjauh dari sumber luka..
Adalah naluri alami jika manusia berhijrah dari sumber malapetaka..
Adalah Fitrah jika manusia inginkan bahagia..

Dan apa salahnya jika saya melakukanya..
menjauh darinya
tak ingin tahu lagi tentangnya
terserah ia mau kemana
karena dia sudah jadi derita yang buat saya terluka
dan dia telah menjadi marabahaya petaka peredup bahagia..

Maka jangan salahkan saya jika saya tak ingin tahu lagi tentangnya..



25/04/07

Semua terlambat, Sasti tahu itu. Andai dia bisa mengurai perasaannya ketika mereka masih berjumpa. Dia membaca kata perkata dan kemudian mencerna, lalu mengulanginya lagi dari pertama. Ada rasa tak percaya, tapi nyata. Susah payah Sasti menelan sebuah pil pahit kebenaran, dan sekejab tubuhnya seperti melayang, ke angkasa, mengudara...menembus awan..lalu terhempas hebat kembali mencium bumi, ketika dering ketiga telepon genggam yang dipengangnya dia jawab. Berita itu sama, dari sumber berbeda namun intinya sama merenggut semua pertahanan yang tersisa. Sasti merana.

***

Udara pagi dipinggiran kota Jakarta pada sebuah kampus tua cukup berkompromi hari ini. Sasti berlari kecil, semalam hujan lebat menguyur kampus dan sekitarnya, meninggalkan genangan disana sini yang membuat dara muda dengan gerai rambut hitam panjangnya lincah melompati beberapa genangan tadi. Tas penuh diktat kampus yang disandangnya mulai memberati Sasti, ketika lompatan terakhir pada genangan yang cukup lebar mengalahkan kelincahan Sasti. Tasnya jatuh, beberapa diktat tercecer basah. Sasti kecewa.

Entah dari mana munculnya, seorang pemuda tiba-tiba menghampiri. Memunguti ceceran diktat Sasti, mengeluarkan sapu tangan abu-abunya untuk membersikan lumpur yang menempel pada diktat-diktat tak tau untung itu. Membuat Sasti terpana pada mahluk didepannya. Siapa gerangan dia, pemuda ramah penolong dikala susah. Dan ketika mereka saling mengulurkan tangan, Sasti tahu namanya Rama, Ramadhan tepatnya. Dan seperti bulan Ramadhan, bagi Sasti Rama datang sebagai penyejuk jiwa. Sasti Bahagia.

Rama ternyata satu tingkat diatasnya. Sasti tahu, atau tepatnya mencari tahu. Satu tahun Rama mengambil cuti, dan baru tahun ini dia melanjutkan kembali. Fakultas mereka berbeda, tapi tak jadi masalah, karena Kampus mereka tetap sama. Rama sesekali muncul dikantin kampus ketika Sasti disana, atau tiba-tiba bus kuning Sasti berhenti pada stasiun kampus kemudian naiklah Rama. Mereka sering bertemu tak sengaja. Seperti ada lilitan benang merah takdir pada kelingking mereka berdua. Ada banyak kata yang Sasti pernah coba rangkai untuk Rama, tapi ketika tiba saatnya, setan kelu membuat Sasti terbata dan hanya sebatas kata iya dan tidak yang keluar dari lisannya ketika dia bicara dengan Rama. Sasti Gugup.

Rama begitu baik, Rama begitu populer, Rama periang dengan kawan dari berbagai lapisan. Rama kenal pak Mamat penjaga loket kereta. Rama berbincang akrab dengan Ibu Ratna staff TU tua menyebalkan. Rama membantu merapihkan buku-buku perpustakaan untuk Pak Ahmad petugas perputakaan. Rama bersenda gurau dengan teman-teman kampusnya di taman samping kantor pos kampus. Namun Sasti tak pernah melihat Rama mengakrabi salah satu wanita teman sebayanya. Apalagi jalan berdua dengan salah satu dari mereka. Sasti bertanya-tanya.

Siang itu selepas istirahat, Sasti berniat kembali ke perpustakaan. Tadi pagi buku yang dia cari masih tak ada, Sasti berharap siang ini buku yang dia butuhkan telah ada. Tak banyak yang datang, perpustakaan lengang. Mungkin karena kegiatan belajar baru saja dimulai, belum banyak mahasiswa yang mencari referensi untuk tugas-tugas kampusnya yang biasanya akan bertumpuk pada pertengahan bulan depan. Dan lagi-lagi Sasti bertemu. Rama duduk di salah satu bangku bermeja menghadap ke jendela. Di dalam perpustakaan dengan sedikit manusia, seperti membawa tanda bahwa Sasti diberi leluasa untuk mendekati Rama. Dengan terbata Sasti menyapa. Rama seperti biasa tersenyum ramah, mengajaknya bergabung, dan entah dari mana keberanian itu, kini Sasti melebur bersama Rama dalam suatu percakapan panjang. Rama begitu renyah dalam setiap obrolannya. Rama pandai bermain kata. Cakrawala pengetahuannya membentang jauh, pandangannya bijak tanpa berusaha mengurui, membuat seluruh kegugupan Sasti mencair. Sasti terlena.

Pertemuan mereka berlanjut. Sasti kini dapat meliat Rama lebih sering. Rama sering menguhubungi Sasti baik melalui telepon atau muncul di fakultas Sasti. Rama sering mengajak Sasti pergi, walau hanya sebatas acara kampus dan toko buku. Walau tak pernah meluncur kata suka dari mulut Rama, namun pertemuan-pertemuan tadi tetap membuat Sasti bahagia. Sasti melihat ada keyakinan di mata Rama jika hubungan mereka akan terus bergulur dan menuju kearah yang lebih serius lagi. Untuk saat ini Sasti tak peduli jika Rama tak pernah benar-benar mengungkapkan rasanya, karena Sasti dimabuk cinta.

Sudah 2 minggu Rama tiba-tiba menghilang. Telepon genggamnya tak pernah aktif lagi. Sasti mencari-cari, Sasti menggila. Dia bertanya pada semua orang yang pernah dekat dengan Rama kemana gerangan pria pujaannya berada, tapi tak satupun menjawab pasti, mereka ternyata tak tahu dimana Rama tinggal. Tempat kost Rama sepi. Teman satu kost Rama bilang dia juga tak melihatnya lebih dari tiga hari. Dan Sasti sadar kini bahwa ia ternyata tidak tahu banyak tentang Rama. Sudah 2 minggu Sasti kehilangan Rama. Sasti merindu.

Satu hari, diminggu ketiga Sasti tanpa Rama, Sasti mencoba terkoneksi ke dunia maya disuatu warnet dekat kampus tuanya. Dan Sasti menemukan surat elektronik dari Rama yang dikirim 1 minggu lalu. Subjeknya tertulis “Untuk Sasti dan seluruh cerita indah kita”
Diketukan jari-jarinya pada bantalan mouse dengan terburu-buru. Tampilan layar monitor berubah perlahan, menguak seluruh isi surat Rama yang begitu panjang dan manis, namun membuat tubuh Sasti mengigil hebat ketika Sasti membaca sebaris kalimat maha penting itu

“Maafkan Rama jika Rama baru berani jujur melalui surat ini,
Rama benar-benar menyukai Sasti,
dan hal itulah yang kini Rama coba hindari,
karena Rama sebenarnya telah lama mengikat janji bahtera rumah tangga dengan wanita lain,
semoga Sasti tidak memiliki perasaan yang sama dengan Rama,
karena alangkah sangat menyedihkan untuk kita berdua jika itu terjadi”.....


deretan kalimat selanjutnya terlihat buram dimata Sasti, Sasti putus Cinta.


~Sawangan~
“pada keheningan malam dikampung kecil sebuah desa kota”

2 comments:

v1rzh4 said...

cerita ini kok rasanya familiar sekali yaahhh, hehehe...

piss!

indah said...

hmmm...
akhirnya gw bisa kasih comment...
Tatz, gw minderrrrrrrrrrr benerannnnnnnnnnn niyyyyyyyyyyyy...
btw, ayo project nya dilanjutin, serius nih... :)